Sajak-sajak Kemerdekaan 2019 Yang Sedih
Monday, September 9, 2019
Edit
SAJAK SAJAK SEDIH SEBELUM KEMERDEKAAN
Wikipedia.org |
Damai (Tanahairku Dan Dunia)
Usman Awang
Sisa hidup ini hendak kita pelihara
juga tanah, pohon dan buah-buah
juga tulang, daging dan darah
jangan suara jadi parau di musim kemarau.
Tapi tanah kami sudah kerecikan api
lama bermula, tidak hilang sampai kini
dan meski tawaran damai sudah diberi
orang masih tidak peduli!
Pohon getah dan tanah mengandung bijih
rebutan manusia daerah asing
kita gali kubur dan masuk berdiam di dalamnya!
Damai - seruan dan tawaran
damai - untuk tanahairku dan kemerdekaan
damai - untuk dunia dan kesejahteraan!
Mastika, Ogos 1955.
Malaya Pasti Merdeka
Affrini Adham
Keseluruhan dari keadaan dan kenyataan
keseluruhan dari kesanggupan dan kebenaran
keseluruhan dari kemungkinan dan kepastian
perpaduan - pendirian - pengorbanan dan perjuangan
-telah benar-benar membangunkan kepercayaan
-telah benar-benar menimbulkan harapan
"Bahawa kemerdekaan yang sekian lama kita perjuangkan
telah dekat - mendekati kita
telah tegas dan nyata
terbayang di hadapan mata
Malaya! Pasti merdeka".
Kita pasti merdeka!
Kita adalah manusia berbangsa dan bernegara!
Kita bukan boneka!
Kita pasti merdeka
di atas "hak pertuanan" kita
selaras dengan kemerdekaan di mana-mana
sebagai manusia-manusia lain yang berbangsa dan punya negara
Malaya pasti merdeka -
di atas keseluruhan - hak-hak kenegaraannya.
1955
Pada Tanah Yang Indah
A. Samad Said
Dalam mata yang bersih merayap cahaya jernih
aku sama menagih kemerdekaan kekasih,
dalam dada yang mesra tenang telaga cinta
aku janji setia membela tanah pusaka.
Kira ribut mendurja mengancam tanah yang indah
setapak tiada kurela untuk melutut kecewa,
biar peluru selaksa mendendam liar mangsanya
untuk kekasih pusaka hatiku tetap rela.
Dalam lari berlari berbaja kasih di hati
azam besi berumbi: melebur penjajah di bumi!
Dalam rindu berpadu, hitam dendam terpendam
aku terlalu merindu fajar cemerlang menjelang.
Hati ini seluruh kasihkan kekasih sepenuh
beri janji yang teguh hingga badanku luluh!
1956
Pertama Dan Terakhir
A. Samad Said
Jauh kita berjalan
mendukung semua kepercayaan
pertama dan terakhir
sekarang kita sampai
ke puncak tiada tercapai
keazaman pantang cair
Kita bersua hati
mengisi setiap janji
pertama dan terakhir
tiada hari kiranya
hingga bernanah dada
sumpah tiada termungkir
Gemuruh kita bersorak
bumi dan langit retak
pertama dan terakhir
berani kita bergerak
darah dan daging serentak
hingga ke saat akhir
padu kita berhasrat
hingga bumi kiamat
pertama dan terakhir
kuat jantung berdetak
untuk berpaling tidak
biar di gelegak air
Rela kita mengangkat
cita bangsa berdaulat
ke puncak murni berukir!
Mastika, April 1957.
Di Telapak Ibu
Thaharuddin Ahmad
Ibu, bukakan rongga kalbu bonda
luangkan tempat bisikan anakanda
yang tetap bergelora dalam sukma
rasa tak kuasa menahan lama.
Masih terbayang ibu terikat
dirantai dibelenggu oleh si Barat
hendak membebaskan dah terniat
tapi, apakan daya tiada sempat.
Kedatangan perkasa suruhan Tuhan
ibu terbebas dari genggaman
beta melompatlah mara ke hadapan
dengan tujuan hendak berkorban.
Di telapak tangan ibu gerangan syurga
tapi hairan putera umpama beta
masih ada yang lengah dan terlupa
bahawa bondakan masih belum berdaya.
Dah datang masanya wahai putera
mengabdi menjunjung titah bonda
supaya dia jangan kecewa
menunggu kita setiap masa.
Kalau tak kita yang berusaha
ibu pertiwi tak akan jaya
dalam lingkungan Asia Raya
menuju kemakmuran bersama.
Semangat Asia, Bil. 5, Mei 1943.
SAJAK SAJAK SEDIH SELEPAS KEMERDEKAAN
Pintaku Padamu
Dharmawijaya
Kalau esok kasih kita 'kan hancur jua
usah ditaburi bumi ini dengan air mata
dunia bukan semata milik orang bercinta
hidup jua bukan semata untuk berlagu kecewa.
di bawah sinar mentari pagi demikian jernihnya
hayunkan gagah langkahmu sepenuh khidmat
usapi kesetiaan hati seluruh umat.
Kalau esok jua hidup dijenguk kematian
usah ditangisi sepinya tanah kelahiran
nyanyikan lagu perindu ke wajah Tuhan
tanda hatimusetia dalam usia pengembaraan.
tau-taulah di bintang satu
di hari hidup kita mengejar bahagia dalam sengsara
di hari mati kita mengira pahala dalam dosa.
1963
Sumpah Anak Watan
Adi Badiozaman Tuah
Kawan
buat kesekian kalinya
kita titis air mata darah
kita hembus nafas panas api
bersama bulan bintang
ke gunung kita
ke hutan bersama
kita patah duri beracun
terlalu lama menusuk daging
dan kalian di hutan
ketagih pada kibaran bendera merah
ayuh! putar haluan
kembali ke pangkal jalan
anak peribumi
kira berdegilbatu hatinya
buat kesekian kali
kita titis air mata darah
kita hembus nafas panas api
kita bakar mereka
bersama
api yang mereka nyala sendiri
Tatau 73
Di Sini Di Tanah Ini
Zam Ismail
Di bumi inilah
tiada lain
nasi dan lauknya
sawah ladang segenggam
menjadilah gegunung perak.
Bukankah tanah ini
sawah ladang ini
yang memberikan nafas
dan anak-anakmu yang menginjak
memamah lumat daging tulang
tanah sejengkal ini
kasihmu masih berbelah
hatimu di bumi lain
asing bagai ikan-ikan di gurun.
Mengucaplah mereka yang wajar mengucap
dengan dua bibir hatimu sendiri
di sinilah udara yang kau hirup
usahlah hembuskan kembali
dengan racun yang berbisa
membunuh pucuk yang baru bertunas
menginjak dahi para wali
yang kepadanya kauberikan kepercayaan.
Tiada kematian yang lebih nikmat
dari mengasihi tanah keramat ini
1975
Tanyalah Diri
Maarof Saad
Tika melewati A Famosa
tergamit sejarah masa lalu
masa keris dan berdaulatan
tak dapat membenteng kemaraan
orang-orang Portugis
dengan kepala ilmu baru
menghujani kota Melaka dengan peluru
dan memaksa sultan lari ke hulu.
Tahun 1511 telah mengajar kita
hulubalang berilmu kebal
tak dapat membendung perpaduan
semangat keperwiraan yang kental
dicairkan oleh pemimpin
yang gelap mata dan fikir
fitnah dan rasuah
sudah terasuk jiwa
sedang Tuah dihukum bunuh
dan Jebat lebih sedia mabukkan darah
hampir 500 tahun sudah berlalu
Portugis, Belanda dan Inggeris
tidak betah lagi bermain untung
tentang gold, gospel dan glory
Melaka sudah lebih 30 tahun mengenal
nilai kemerdekaan.
Akan bangkitkah semangat Tuah
akan terbelakah setiakawan Jebat
atau akan datang lagi
ilmu yang lebih baru
untuk merundukkan rantau
yang cintakan keamanan?
Tanyalah diri
tanyalah hati
sebelum kita dikalahkan lagi!
Bandar Hilir, 25 Disember
Dewan Sastera, Mac 1988